Contoh Perlakuan bengis manusia terhadap air |
Air adalah salah
satu unsur fisis-alamiah utama, yang tak terpisahkan dengan manusia sebagai
penggunanya. Ketika manusia tercipta, semenjak era Pithecantropus Erectus
hingga Homo Sapiens, Illahi telah menganugerahkan air belimpah untuk menopang
kehidupan manusia. Air oleh karenanya masuk dalam derap sosio-budaya, dimana
manusia dalam kesehariannya mengelola, memanfaatkan, hingga ironisnya "menistakan"
air untuk beragam kepentingannya. Air itu adalah sahabat manusia, bukan
"dilawan" karena dianggap musuh manusia.
Relasi manusia
dan air tergambar dalam berbagai realitas, mulai dari antar hubungan yang
idealnya "muatalustik", dimana manusia dan makhluk hidup lainnya
mendapat kedayagunaan dari air. Di pihak air, kelestariannya tetaplah terjaga.
Ada suatu era dimana manusia memanfaatkan secara "air sak madyo (secukup
nya)". Bijak dalam menggunakan dan bijak pula dalam memposisikan air sebagai
unsur alamiah yang "terhornat" -- sebagai salah satu dari "5in1
(pancamahabhuta)", yakni unsur pembentuk sekaligus penyeimbang makro-mikro
kosmos. Air malahan "disucikan", sehingga tidak boleh sembarangan di
dalam memperlakukan air. Dengan piranti kecanggihan budaya di zamannya, manusia
"mengeksplorasi bijak" sumberdaya air yang ada di sekitar tempatnya
hidupnya. Manusia di era lalu tidal "aluamah" dengan mengeksploitasi
air semata demi keperluan pribadi atau korporasi. Harmoni manusia dan lingkungan
mewarnai relasi kosmologis di era lampau.
Sebaliknya, ada
kalanya, air sekedar diposisikan sebagai "obyek", bahkan "obyek
penderita", yang demi kepentingan manusia dipandang sah-sah saja untuk
diperlakui apa saja. Pada satu sisi air dikuras kelewat batas, pada sisi lain
tanpa disertai ikhtiar untuk memberi kemungkinan air mengisi dirinya lewat akar
tanaman yang sengaja ditanam rimbun di sekitar sumber air (tuk). Aliran alamiah
dari air, yang dinormalisasi oleh Illahi, tak pelak direkayasa, dengan
dipinggirkan, dipersempit, malah ditiadakan demi keluasan areak permukiman dan
pengadaan fasiltas publik. Areal padamana air berada, yang berupa sungai,
selokan, tempat genangan, bahkan tuk (sumber air) -- sebagai muasal air, tampa
arif disikapi dan diperlakui sebagai "ruang tak bertuan", padamana
sisa buang dan material kotor seperti sampah, limbah, bahkan zat-zat berbahaya
yang meracuni makhluk hidup dicampakkan kepadanya.
Wal hasil, air
perlihatkan dua wajahnya, yakni wajah sumringah, manakala umat manusia
mengelola dan memanfaatkan air secara bijak dengan mengambil secukupnya, yang
dilandasi oleh kesadaran untuk lestarikan sumberdaya air bagi kelasungan hidup
lintas generasi. Pada sisi lainnya, air menampilkan wajah kuyu. Lantaran bukan
hanya menjadi obyek esploitasi dari orang-orang serakah, tapi sekaligus menjadi
"tempat comberan", ke dalam mana sisa buang dab material kotor
dijejalkan kedalamnya.
Air mustinya
terintegrasi dalam harmoni kehidupan, yang didasari oleh keadaban. Interelasi
manusia - air karenanya musti ditempatkan di dalam bingkai "pembudayaan
air (hidro-cultural)", dalam mana manusia hidup sebagai warga
"masyarakat keairan (hydrolic society)". Sejarah telah memperlihatkan
adanya orang-orang yang "arif" terhadap air, tapi perlihatkan pula
adanya orang-orang yang "bengis" kepada air. Saya, anda, atau kalian
masuk kategori yang mana? Nuwun.
Sangkaling, 15
Mei 2020
Griya Ajar
CITRALEKHA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar