Jumat, 24 Oktober 2025

PEREMPUAN ADAT BERJUANG MEMBELA SUNGAI

foto : Goldman Environmental Prize
 Mari Luz Canaquiri Pejuang & Pembela Sungai Amazon - Sungai yang Memiliki Hak: Perjuangan Perempuan Kukama dari Amazon Peru Menginspirasi Dunia dan Indonesia, kisahnya dapat diikuti dalam :Dokumenter Mari Luz Canaquiri Murayari

 Oleh: Abu Salam

“Berjuang untuk sungai dan wilayah kami berarti berjuang untuk hidup kami sendiri.”
Mari Luz Canaquiri

Pada April 2025, dunia menyorot sosok Mari Luz Canaquiri, pemimpin adat Kukama dari wilayah Amazon Peru, yang menerima Goldman Environmental Prize—penghargaan paling bergengsi di dunia bagi pembela lingkungan akar rumput. Capaian ini menandai kemenangan bagi perempuan adat, hak-hak alam, dan gerakan global yang memperjuangkan perlindungan sungai dari ekstraktivisme dan krisis ekologis.

Sungai Marañón: Nadi Kehidupan yang Tercemar

Bagi masyarakat Kukama, Sungai Marañón bukan sekadar sumber air, melainkan entitas hidup dan suci—tempat asal kehidupan, tempat bersemayam roh, dan sumber pangan bagi komunitas adat di tepian Amazon. Namun selama lebih dari lima dekade, sungai ini menjadi korban tumpahan minyak, pencemaran merkuri akibat penambangan ilegal, dan proyek infrastruktur energi fosil. Menurut laporan Earth Law Center (2024), lebih dari 10.000 barel minyak tumpah ke Sungai Marañón hanya dalam tahun 2022. Bencana ini bukan hanya krisis ekologis, melainkan krisis spiritual dan kultural yang mengancam keberlanjutan masyarakat adat Kukama.

 “Sungai kami adalah sesuatu yang suci: di sanalah kami memperoleh segalanya

 Kepemimpinan Perempuan Adat: Penjaga Kehidupan dan Alam

Menolak tunduk pada kehancuran, para perempuan Kukama membentuk Federación Huaynakana Kamatahuara Kana, mengorganisasi komunitas, menggelar aksi, dan menggugat negara serta perusahaan minyak yang bertanggung jawab atas pencemaran.

Gerakan ini menegaskan bahwa perempuan adat adalah garda depan pelindung bumi, bukan hanya sebagai korban dampak lingkungan, tetapi juga sebagai pemimpin dan pengambil keputusan.

 “Sebagai perempuan dan sebagai ibu, kami berjuang membela sungai dan wilayah kami, demi anak-anak dan generasi mendatang,” kata Mari Luz.

 Penelitian yang diterbitkan oleh Global Alliance for the Rights of Nature (GARN) menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan adat berkontribusi signifikan pada efektivitas perlindungan ekosistem air di Amerika Latin, karena berbasis pada relasi spiritual, etika perawatan, dan tanggung jawab lintas generasi.

 Terobosan Hukum: Sungai Marañón Diakui Sebagai Subjek Hukum

Pada tahun 2024, perjuangan panjang itu mencapai puncak bersejarah: Pengadilan Tinggi Loreto di Peru mengakui Sungai Marañón sebagai subjek hukum yang memiliki hak.
Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah Peru sebuah sungai memperoleh pengakuan hukum atas eksistensinya sebagai makhluk hidup.

Keputusan tersebut merupakan hasil dari kerja kolektif antara perempuan Kukama dan jaringan internasional seperti Earth Law Center, International Rivers, serta GARN, dengan dukungan Institute of Legal Defense (IDL) Peru.

Langkah ini menandai pergeseran paradigma hukum lingkungan, dari pendekatan antropo-sentris menuju eko-sentris, yang menempatkan alam sebagai pemilik hak, bukan sekadar objek eksploitasi.

 Gerakan Hak Alam: Dari Andes hingga Nusantara

Konsep Rights of Nature atau Hak Alam berkembang menjadi salah satu inovasi paling penting dalam hukum lingkungan global. Negara seperti Ekuador (2008) dan Bolivia (2010) telah memasukkan hak-hak alam ke dalam konstitusi.
Di Selandia Baru, Sungai Whanganui diakui sebagai entitas hukum pada 2017, diikuti oleh Kolombia dan India—dan kini Peru melalui Sungai Marañón.

Menurut laporan Earth Law Center (2023), lebih dari 30 yurisdiksi di seluruh dunia kini telah memberikan hak hukum kepada sungai, hutan, atau ekosistem tertentu.
Kemenangan Marañón menjadi bukti bahwa gerakan ini semakin menguat, dan menunjukkan bahwa keadilan ekologis dapat dicapai melalui pengakuan hukum terhadap hak-hak alam.

 Pelajaran bagi Indonesia: Saatnya Sungai Diberi Hak

Indonesia memiliki lebih dari 5.000 sungai, namun sebagian besar menghadapi tekanan berat akibat pencemaran industri, limbah domestik, dan degradasi daerah tangkapan air.
Contohnya:

  • Sungai Brantas di Jawa Timur tercemar oleh limbah industri, mikroplastik, dan limbah rumah tangga.
  • Sungai Citarum di Jawa Barat pernah dinobatkan sebagai salah satu sungai terkotor di dunia.
  • Sungai Mahakam di Kalimantan Timur terancam oleh ekspansi tambang batubara dan pembangunan energi.

Menurut laporan ECOTON (2024), kandungan mikroplastik di Sungai Brantas telah mencapai lebih dari 120 partikel per 100 liter air, menunjukkan degradasi serius terhadap kualitas air dan biota sungai.

Secara normatif, Indonesia telah memiliki kerangka hukum penting melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur baku mutu air, pemantauan, dan penegakan hukum lingkungan.
Namun, regulasi ini belum menempatkan sungai sebagai subjek hukum yang memiliki hak hidup dan hak untuk pulih.

Aktivis lingkungan Daru Setyorini, pendiri ECOTON, menegaskan:

Kalau sungai dianggap punya hak, maka pencemaran bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, tapi pelanggaran terhadap hak hidup sungai. Itu paradigma baru yang lebih adil bagi alam.”

 Membangun Solidaritas Global untuk Hak Sungai

Kisah Mari Luz Canaquiri dan Sungai Marañón memberi pesan universal:
Perjuangan membela sungai bukan hanya soal konservasi, tetapi soal keberlanjutan kehidupan, budaya, dan martabat manusia.

Kemenangan hukum Marañón mengingatkan dunia bahwa hak-hak alam bukan lagi ide utopis—mereka sedang menjadi kenyataan.
Bagi Indonesia, ini momentum penting untuk mendorong lahirnya kerangka hukum pengakuan hak sungai, yang dapat memperkuat perlindungan terhadap ekosistem air dan mendukung pencapaian keadilan ekologis.

Saat industri ekstraktif terus meluas di Amazon, Kalimantan, dan Jawa, suara Mari Luz menggema lintas benua:

“Kita harus bertindak dengan keberanian, secara kolektif, dan demi mempertahankan Kehidupan itu sendiri.”


Referensi

  1. Earth Law Center (2023). Rights of Nature Global Report.
  2. Global Alliance for the Rights of Nature (GARN) (2024). Defending Mother Earth: Indigenous Women at the Frontline of Ecological Justice.
  3. ECOTON (2024). Monitoring Mikroplastik dan Limbah Industri di Sungai Brantas.
  4. Pemerintah Republik Indonesia (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  5. International Rivers (2024). Legal Milestones in the Recognition of River Rights: The Case of Marañón, Peru.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer