Rabu, 26 Februari 2025

KOPIPA Mendesak Pemprov Jatim dan Menteri PU untuk Tunduk pada Putusan Mahkamah Agung April 2024

Replikasi ikan raksasa mengapung di Kalimas (17/02/2025)

Surabaya (17/02) –
Komunitas Penyayang Ikan dan Perairan Nusantara (KOPIPA) menyesalkan sikap Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kementerian PUPR yang abai terhadap kelestarian ikan-ikan di Sungai Brantas. Dalam kegiatan "Ronda Sungai," KOPIPA menemukan banyaknya bangunan liar jumlahnya 1000 lebih di bantaran Sungai Brantas yang menghasilkan limbah cair dan sampah plastik yang langsung dibuang ke sungai, memperparah pencemaran.


Sebagai bentuk protes terhadap terus memburuknya kondisi Sungai Brantas akibat pencemaran limbah industri dan domestik, KOPIPA menggelar aksi teatrikal bertajuk “Menolak Punah” di Sungai Kali Mas, Surabaya. Aksi ini menyoroti hilangnya spesies ikan lokal serta ancaman terhadap ekosistem sungai secara keseluruhan. Sebanyak 30 aktivis lingkungan dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Brawijaya dan Ilmu Kelautan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, ikut serta dalam aksi ini. Sebagai simbol kepunahan ikan, KOPIPA membawa replika ikan sepanjang enam meter yang mengambang di Sungai Kali Mas, serta membentangkan poster “Menolak Punah untuk menyoroti kondisi perairan yang semakin kritis.

Ancaman Serius terhadap Ekosistem Sungai Brantas

Sungai Brantas merupakan sumber air utama bagi jutaan penduduk Jawa Timur, namun kini dalam kondisi mengkhawatirkan. Berdasarkan data pemantauan kualitas air, lebih dari 70% wilayah sungai telah tercemar oleh limbah industri dan domestik. Salah satu temuan utama adalah konsentrasi amoniak yang mencapai 3,00 ppm di sekitar outlet limbah cair industri penyedap rasa di Jombang, jauh di atas baku mutu 0,1 ppm atau 30 kali lipat lebih tinggi dari batas aman.

“Konsentrasi amoniak dalam limbah industri yang dibuang ke Sungai Brantas melebihi baku mutu. Ini akan berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat, terutama karena sungai ini menjadi bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Masyarakat yang mengonsumsi air PDAM dari Sungai Brantas berpotensi mengalami gangguan sistem pencernaan, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta paparan jangka panjang yang berisiko karsinogenik,” ujar Alaika Rahmatullah, koordinator Ronda Sungai.


Temuan lain pada kegiatan Ronda Sungai, salah satu industri besar yang masih berkontribusi terhadap pencemaran Sungai Brantas adalah PT Tjiwi Kimia, yang diketahui membuang limbah cair dengan karakteristik fisik mencolok: berwarna coklat pekat, keruh, berbau menyengat, dan bersuhu tinggi. Limbah dengan kondisi ini berpotensi menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut (DO) dalam air, mengganggu metabolisme biota sungai, serta mempercepat proses eutrofikasi yang berpotensi memicu ledakan pertumbuhan alga beracun. Selain itu, suhu tinggi dari limbah industri dapat mengganggu keseimbangan termal ekosistem perairan, menyebabkan stres pada ikan dan organisme akuatik lainnya, serta mempercepat laju kepunahan ikan.

Berdasarkan data dari Onlimo KLHK pada 15 Februari 2025, Sungai Brantas di Kota Kediri tercemar berat akibat tinggi nya kadar amoniak mencapai 13,56 ppm, BOD mencapai 7,36 ppm, dan TSS mencapai 6,22 ppm. Indeks cemaran mencapai angka 10,02 di Sungai Brantas Kota Kediri bahkan dan berwarna merah, artinya berbahaya.

“Pencemaran ini juga diperparah oleh kontaminasi mikroplastik di perairan. Penelitian Ecoton menunjukkan bahwa Sungai Brantas merupakan salah satu sungai dengan tingkat pencemaran mikroplastik tertinggi di Indonesia, dengan 636 partikel per 100 liter air, yang berdampak langsung pada rantai makanan, kesehatan ekosistem perairan dan manusia” ujar Rafika Aprilianti kepala Laboratorium Ecoton.

Deforestasi Hulu Sungai Percepat Krisis

Selain pencemaran, kawasan hulu Sungai Brantas di Kota Batu mengalami deforestasi yang masif. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas hulu berada dalam kondisi kritis, dengan luas lahan kritis mencapai 925 hektar di kawasan hutan dan 1.899 hektar di luar kawasan hutan. Kondisi ini menyebabkan laju erosi meningkat hingga 2.268 ton per hektar per tahun, naik sekitar 300%. Selain itu, kekritisan lahan juga berdampak pada berkurangnya jumlah mata air di Kota Batu, dari 109 menjadi hanya 57 mata air.

“Salah satu penyebab kekritisan DAS Brantas adalah adanya alih fungsi kawasan hutan, terutama wilayah lindung yang berubah menjadi lahan pertanian. Selain itu, ekosistem riparian yang seharusnya dipenuhi vegetasi pohon kini berubah menjadi permukiman,” ujar Imanuel, mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Brawijaya.

Imanuel juga menambahkan bahwa deforestasi ini merusak habitat ikan lokal yang sebelumnya menjadi indikator kesehatan ekosistem sungai. Beberapa spesies ikan endemik yang dahulu melimpah kini semakin sulit ditemukan, menandakan ketidakseimbangan ekosistem yang semakin parah.

Pemerintah Harus Patuhi Putusan Pengadilan

Aktivis lingkungan juga mendesak pemerintah untuk mematuhi dan menghormati putusan pengadilan terkait kasus ikan mati massal akibat kelalaian dalam pengawasan dan pengelolaan sungai. Putusan Mahkamah Agung dengan nomor 1190K/PDT/2024 tertanggal 30 April 2024 menyatakan menolak kasasi yang diajukan oleh Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR Republik Indonesia.

“Hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti putusan tersebut. Pemerintah terkesan mengulur waktu dan mencari pembenaran, alih-alih melakukan introspeksi,” ujar Jofan Ahmad, Koordinator KOPIPA.

Kasus ikan mati massal yang terus berulang menjadi bukti nyata dari kelalaian pemerintah dalam mengelola ekosistem sungai. Kondisi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pihak berwenang bahwa pencemaran sungai yang terjadi saat ini adalah bencana besar bagi masa depan.

Tuntutan KOPIPA: Segera Pulihkan Sungai Brantas

Melalui aksi ini, KOPIPA mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam pemulihan Sungai Brantas. Adapun tuntutan yang diajukan antara lain:

  1. Pemerintah harus memperketat regulasi pembuangan limbah industri dan memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang mencemari sungai tanpa pengolahan yang layak.
  2. Meningkatkan sistem pemantauan kualitas air secara transparan, dengan pemasangan alat pemantau kualitas air disertai CCTV yang dapat diakses secara real-time oleh masyarakat.
  3. Memulihkan ekosistem sungai melalui reforestasi kawasan hulu, serta menindak tegas praktik deforestasi yang memperburuk kondisi sungai.
  4. Membentuk satuan tugas khusus pengawasan sungai yang melibatkan masyarakat sipil dan akademisi dalam mengawasi kebijakan pengelolaan perairan.

Narahubung:
Jofan Ahmad (081916720977)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer