Replikasi ikan raksasa mengapung di Kalimas (17/02/2025)
Surabaya (17/02) – Komunitas Penyayang
Ikan dan Perairan Nusantara (KOPIPA) menyesalkan sikap Pemerintah Provinsi Jawa
Timur dan Kementerian PUPR yang abai terhadap kelestarian ikan-ikan di Sungai
Brantas. Dalam kegiatan "Ronda Sungai," KOPIPA menemukan banyaknya
bangunan liar jumlahnya 1000 lebih di bantaran Sungai Brantas yang menghasilkan
limbah cair dan sampah plastik yang langsung dibuang ke sungai, memperparah
pencemaran.
Sebagai bentuk protes terhadap terus memburuknya kondisi Sungai Brantas akibat pencemaran limbah industri dan domestik, KOPIPA menggelar aksi teatrikal bertajuk “Menolak Punah” di Sungai Kali Mas, Surabaya. Aksi ini menyoroti hilangnya spesies ikan lokal serta ancaman terhadap ekosistem sungai secara keseluruhan. Sebanyak 30 aktivis lingkungan dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Brawijaya dan Ilmu Kelautan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, ikut serta dalam aksi ini. Sebagai simbol kepunahan ikan, KOPIPA membawa replika ikan sepanjang enam meter yang mengambang di Sungai Kali Mas, serta membentangkan poster “Menolak Punah” untuk menyoroti kondisi perairan yang semakin kritis.
Ancaman Serius terhadap Ekosistem
Sungai Brantas
Sungai Brantas merupakan sumber air
utama bagi jutaan penduduk Jawa Timur, namun kini dalam kondisi
mengkhawatirkan. Berdasarkan data pemantauan kualitas air, lebih dari 70%
wilayah sungai telah tercemar oleh limbah industri dan domestik. Salah satu
temuan utama adalah konsentrasi amoniak yang mencapai 3,00 ppm di sekitar
outlet limbah cair industri penyedap rasa di Jombang, jauh di atas baku mutu
0,1 ppm atau 30 kali lipat lebih tinggi dari batas aman.
“Konsentrasi amoniak dalam limbah
industri yang dibuang ke Sungai Brantas melebihi baku mutu. Ini akan berdampak
serius terhadap kesehatan masyarakat, terutama karena sungai ini menjadi bahan
baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Masyarakat yang mengonsumsi air PDAM
dari Sungai Brantas berpotensi mengalami gangguan sistem pencernaan, gangguan
fungsi ginjal dan hati, serta paparan jangka panjang yang berisiko
karsinogenik,” ujar Alaika Rahmatullah, koordinator Ronda Sungai.
Temuan lain pada kegiatan Ronda Sungai, salah satu industri besar yang masih berkontribusi terhadap pencemaran Sungai Brantas adalah PT Tjiwi Kimia, yang diketahui membuang limbah cair dengan karakteristik fisik mencolok: berwarna coklat pekat, keruh, berbau menyengat, dan bersuhu tinggi. Limbah dengan kondisi ini berpotensi menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut (DO) dalam air, mengganggu metabolisme biota sungai, serta mempercepat proses eutrofikasi yang berpotensi memicu ledakan pertumbuhan alga beracun. Selain itu, suhu tinggi dari limbah industri dapat mengganggu keseimbangan termal ekosistem perairan, menyebabkan stres pada ikan dan organisme akuatik lainnya, serta mempercepat laju kepunahan ikan.
Berdasarkan data dari Onlimo KLHK pada
15 Februari 2025, Sungai Brantas di Kota Kediri tercemar berat akibat tinggi
nya kadar amoniak mencapai 13,56 ppm, BOD mencapai 7,36 ppm, dan TSS mencapai
6,22 ppm. Indeks cemaran mencapai angka 10,02 di Sungai Brantas Kota Kediri
bahkan dan berwarna merah, artinya berbahaya.
“Pencemaran ini juga diperparah oleh
kontaminasi mikroplastik di perairan. Penelitian Ecoton menunjukkan bahwa
Sungai Brantas merupakan salah satu sungai dengan tingkat pencemaran
mikroplastik tertinggi di Indonesia, dengan 636 partikel per 100 liter air,
yang berdampak langsung pada rantai makanan, kesehatan ekosistem perairan dan
manusia” ujar Rafika Aprilianti kepala Laboratorium Ecoton.
Deforestasi Hulu Sungai Percepat
Krisis
Selain pencemaran, kawasan hulu Sungai
Brantas di Kota Batu mengalami deforestasi yang masif. Menurut catatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Daerah Aliran Sungai (DAS)
Brantas hulu berada dalam kondisi kritis, dengan luas lahan kritis mencapai 925
hektar di kawasan hutan dan 1.899 hektar di luar kawasan hutan. Kondisi ini
menyebabkan laju erosi meningkat hingga 2.268 ton per hektar per tahun,
naik sekitar 300%. Selain itu, kekritisan lahan juga berdampak pada
berkurangnya jumlah mata air di Kota Batu, dari 109 menjadi hanya 57 mata
air.
“Salah satu penyebab kekritisan DAS
Brantas adalah adanya alih fungsi kawasan hutan, terutama wilayah lindung yang
berubah menjadi lahan pertanian. Selain itu, ekosistem riparian yang seharusnya
dipenuhi vegetasi pohon kini berubah menjadi permukiman,” ujar Imanuel,
mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Brawijaya.
Imanuel juga menambahkan bahwa
deforestasi ini merusak habitat ikan lokal yang sebelumnya menjadi indikator
kesehatan ekosistem sungai. Beberapa spesies ikan endemik yang dahulu melimpah
kini semakin sulit ditemukan, menandakan ketidakseimbangan ekosistem yang
semakin parah.
Pemerintah Harus Patuhi Putusan
Pengadilan
Aktivis lingkungan juga mendesak
pemerintah untuk mematuhi dan menghormati putusan pengadilan terkait kasus ikan
mati massal akibat kelalaian dalam pengawasan dan pengelolaan sungai. Putusan
Mahkamah Agung dengan nomor 1190K/PDT/2024 tertanggal 30 April 2024 menyatakan
menolak kasasi yang diajukan oleh Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR Republik
Indonesia.
“Hingga saat ini, belum ada langkah
konkret yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti putusan
tersebut. Pemerintah terkesan mengulur waktu dan mencari pembenaran, alih-alih
melakukan introspeksi,” ujar Jofan Ahmad, Koordinator KOPIPA.
Kasus ikan mati massal yang terus
berulang menjadi bukti nyata dari kelalaian pemerintah dalam mengelola
ekosistem sungai. Kondisi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pihak
berwenang bahwa pencemaran sungai yang terjadi saat ini adalah bencana besar
bagi masa depan.
Tuntutan KOPIPA: Segera Pulihkan
Sungai Brantas
Melalui aksi ini, KOPIPA mendesak pemerintah untuk segera mengambil
langkah konkret dalam pemulihan Sungai Brantas. Adapun tuntutan yang diajukan
antara lain:
- Pemerintah harus memperketat regulasi pembuangan limbah industri dan
memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang mencemari sungai tanpa
pengolahan yang layak.
- Meningkatkan sistem pemantauan kualitas air secara transparan,
dengan pemasangan alat pemantau kualitas air disertai CCTV yang dapat diakses
secara real-time oleh masyarakat.
- Memulihkan ekosistem sungai melalui reforestasi kawasan hulu, serta
menindak tegas praktik deforestasi yang memperburuk kondisi sungai.
- Membentuk satuan tugas khusus pengawasan sungai yang melibatkan
masyarakat sipil dan akademisi dalam mengawasi kebijakan pengelolaan
perairan.
Narahubung:
Jofan Ahmad (081916720977)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar