Kamis, 04 Desember 2025

GrowGreen dan Ecoton Gelar Aksi Bakar Sampah Plastik didepan Grahadi “Peringatkan Ancaman Kesehatan Senyawa Beracun Plastik dalam Tubuh Manusia”

Aktivis Growgreen Melakukan aksi teatrikal

 


"Temuan 23 Bahan Kimia Plastik dalam darah Perempuan di Gresik harus menjadi early warning agar pengelolaan sampah plastik mendapat perhatian Pemkab Gresik, larangan keras membakar sampah plastik dan perlunya penolakan terhadap wadah makanan dan minuman dari plastik sekali pakai" Ungkap Sofi Azilan Aini

Aksi teatrikal dilakukan oleh Growgreen dan Ecoton di depan Gedung Negara Grahadi pada Kamis siang (4/12/2025) ditengah gerimis 5 orang berpakaian ala manusia purba membakar sampah plastik diatas replika api yang sedang membara, ditengah kepulan asap yang mengepulkan serpihan plastik berukuran kecil membumbung keatas hingga ketinggian lima meter. “Aksi teatrikal ini adalah bentuk protes kami terhadap perilaku masyarakat Indonesia yang masih mengandalkan cara dibakar sebagai solusi pengelolaan sampah, 57% masyarakat Indonesia membakar sampah, bahkan di desa-desa di Indonesia 70,5% masih membakar dan membuang sampah sembarangan, perilaku membakar sampah inilah yang menjadi contributor buruknya kualitas udara dan tercemarnya air hujan oleh mikroplastik” ungkap Prigi Arisandi, lebih lanjut pendiri Ecoton ini menjelaskan Sampah plastik di Indonesia kini mencapai 12–17% dari total sampah, dan lebih dari 40% tidak terkelola dengan baik, sehingga banyak yang dibakar, bocor ke sungai, atau menumpuk tanpa penanganan. Kondisi ini memperbesar paparan bahan kimia berbahaya, terutama bagi perempuan pemilah sampah yang bekerja tanpa perlindungan memadai.

 Dampak Pembakaran Sampah Plastik


Plastik mengandung lebih dari 16.000 bahan kimia, dan sedikitnya 4.200 di antaranya berbahaya
, termasuk pengganggu hormon, zat karsinogenik, serta senyawa yang mengganggu perkembangan janin dan sistem kekebalan tubuh. Pembakaran pada suhu rendah yang umum terjadi di rumah tangga dan TPA terbuka memicu pelepasan partikel polymeric aerosol. partikel padat atau semi-padat berbahan dasar polimer yang sangat ringan, sehingga mudah terangkat ke udara. Partikel ini bisa berbentuk fiber (serat), film, fragmen, atau butiran kecil yang kemudian terbawa oleh angin, tersebar hingga kilometer jauhnya, dan akhirnya turun lagi melalui presipitasi seperti hujan. Inilah yang kemudian berkontribusi pada fenomena ‘hujan mikroplastik’. "  Sampah yang tidak dipilah juga memperburuk situasi. Campuran plastik PET, PP, PE, PVC, hingga multilayer yang dibakar bersamaan menciptakan kondisi yang sangat ideal untuk menguapnya bahan-bahan kimia berbahaya dan pembentukan mikroplastik karena tidak ada kontrol suhu dan tidak ada sistem pembakaran tertutup." Ungkap Sofi Azilan aini,lebih lanjut Alumni Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Nahdatul Ulama Surabaya ini menjelaskan bahwa, sampah yang tidak terangkut atau dibuang sembarangan di tempat terbuka akan terpapar panas matahari dan angin sehingga mengalami fragmentasi, menambah beban polusi mikroplastik di udara.

Untuk mengetahui seberapa besar paparan tersebut, Wonjin Institute for Occupational Environmental Health (WIOEH ), Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga melakukan biomonitoring pada 32 perempuan pemilah sampah di Gresik, Jawa Timur, terdiri dari 27 pekerja pemilah sampah dan 5 perempuan nonpekerja sebagai kontrol. Analisis dilakukan terhadap 65 jenis bahan kimia dalam darah dan urin. Penelitian kandungan senyawa plastik dilakukan di Laboratorium Green Hospital Korea Selatan milik Wonjin Institute for Occupational Environmental Health.

Hasilnya menunjukkan bahwa 23 bahan kimia berbahaya terdeteksi pada seluruh peserta, dengan kadar jauh lebih tinggi pada kelompok pekerja. Temuan ini menegaskan bahwa aktivitas pemilahan sampah plastik memberikan paparan yang intens dan berbahaya.

“Temuan kami menunjukkan bahwa pekerja pemilah sampah di Indonesia terpapar bahan kimia plastik berbahaya pada tingkat yang jauh lebih tinggi dibanding populasi umum. Kondisi ini tidak boleh diabaikan. Paparan kronis terhadap senyawa seperti BPA dan ftalat berpotensi mengganggu hormon, metabolisme, dan kesehatan reproduksi. Kami berharap penelitian ini menjadi dasar kuat bagi pemerintah dan industri untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah dan melindungi kesehatan para pekerja.” Dr. Won Kim WIOEH

Senyawa

Kadar pada Pekerja

Risiko & Dampak Kesehatan

Ftalat (DEHP)

2× lebih tinggi dari kontrol

• Mengganggu hormon reproduksi

• Menurunkan kesuburan

• Meningkatkan risiko gangguan perkembangan janin

Bisphenol A (BPA)

2,3× lebih tinggi dari kontrol

10× lebih tinggi dari perempuan Korea

7× lebih tinggi dari perempuan AS

• Pengganggu hormon estrogen

• Meningkatkan risiko kanker payudara

• Menyebabkan gangguan metabolisme

• Berkaitan dengan penyakit tiroid

PAH (1-OH-pyrene)

2,8× lebih tinggi dari kontrol

• Meningkatkan risiko kanker paru-paru

• Menyebabkan gangguan pernapasan kronis

• Melemahkan sistem imun

Flame retardants (DPHP, DBuP)

2–3× lebih tinggi dari kontrol

• Mengganggu hormon tiroid

• Menyebabkan kerusakan hati

• Berisiko menyebabkan gangguan perkembangan saraf pada anak

 


Seluruh peserta juga menunjukkan kadar timbal (Pb) yang lebih tinggi dibanding populasi umum di negara maju. Timbal merupakan neurotoksin yang dapat menyebabkan penurunan kecerdasan, tekanan darah tinggi, gangguan hormon, serta risiko cacat perkembangan pada janin.

Kondisi ini menunjukkan bahwa semua pemilah sampah menghadapi risiko kesehatan yang berat akibat paparan berulang dari plastik, debu mikroplastik, dan asap pembakaran. Dampaknya dapat bersifat jangka panjang dan memengaruhi kesehatan generasi berikutnya.

“Paparan bahan kimia plastik pada kadar setinggi ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi kelompok pekerja perempuan. Banyak dari senyawa yang kami temukan berkaitan dengan gangguan hormon, risiko penyakit metabolik, hingga masalah kesehatan reproduksi. Indonesia perlu mengadopsi standar perlindungan pekerja yang lebih baik, termasuk pemantauan kesehatan berkala, pengurangan paparan di tempat kerja, dan regulasi yang lebih kuat terhadap bahan kimia berbahaya.” Dr. Lestari Sudaryanti, dr., M.Kes Fakultas Kedokteran UNAIR.

“Penelitian ini memperlihatkan dampak dari sistem pengelolaan sampah Indonesia yang masih buruk. Ketika 60% sampah plastik tidak terkelola dan banyak berakhir di sungai atau lingkungan terbuka, pekerja di lapangan menjadi pihak pertama yang terpapar. Temuan tingginya senyawa berbahaya dalam urin pekerja harus menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sampah, mengurangi plastik sekali pakai, dan memastikan perlindungan bagi pekerja sektor informal.” Dr. Daru Setyorini, M.Si ECOTON Foundation

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer