Aktivis Growgreen Melakukan aksi teatrikal
"Temuan 23 Bahan Kimia Plastik dalam darah Perempuan di Gresik harus menjadi early warning agar pengelolaan sampah plastik mendapat perhatian Pemkab Gresik, larangan keras membakar sampah plastik dan perlunya penolakan terhadap wadah makanan dan minuman dari plastik sekali pakai" Ungkap Sofi Azilan Aini
Aksi teatrikal dilakukan oleh Growgreen dan Ecoton di depan Gedung Negara Grahadi pada Kamis siang (4/12/2025) ditengah gerimis 5 orang berpakaian ala manusia purba membakar sampah plastik diatas replika api yang sedang membara, ditengah kepulan asap yang mengepulkan serpihan plastik berukuran kecil membumbung keatas hingga ketinggian lima meter. “Aksi teatrikal ini adalah bentuk protes kami terhadap perilaku masyarakat Indonesia yang masih mengandalkan cara dibakar sebagai solusi pengelolaan sampah, 57% masyarakat Indonesia membakar sampah, bahkan di desa-desa di Indonesia 70,5% masih membakar dan membuang sampah sembarangan, perilaku membakar sampah inilah yang menjadi contributor buruknya kualitas udara dan tercemarnya air hujan oleh mikroplastik” ungkap Prigi Arisandi, lebih lanjut pendiri Ecoton ini menjelaskan Sampah plastik di Indonesia kini mencapai 12–17% dari total sampah, dan lebih dari 40% tidak terkelola dengan baik, sehingga banyak yang dibakar, bocor ke sungai, atau menumpuk tanpa penanganan. Kondisi ini memperbesar paparan bahan kimia berbahaya, terutama bagi perempuan pemilah sampah yang bekerja tanpa perlindungan memadai.
Plastik mengandung lebih dari 16.000 bahan kimia, dan sedikitnya 4.200 di antaranya berbahaya, termasuk pengganggu hormon, zat karsinogenik, serta senyawa yang mengganggu perkembangan janin dan sistem kekebalan tubuh. Pembakaran pada suhu rendah yang umum terjadi di rumah tangga dan TPA terbuka memicu pelepasan partikel polymeric aerosol. partikel padat atau semi-padat berbahan dasar polimer yang sangat ringan, sehingga mudah terangkat ke udara. Partikel ini bisa berbentuk fiber (serat), film, fragmen, atau butiran kecil yang kemudian terbawa oleh angin, tersebar hingga kilometer jauhnya, dan akhirnya turun lagi melalui presipitasi seperti hujan. Inilah yang kemudian berkontribusi pada fenomena ‘hujan mikroplastik’. " Sampah yang tidak dipilah juga memperburuk situasi. Campuran plastik PET, PP, PE, PVC, hingga multilayer yang dibakar bersamaan menciptakan kondisi yang sangat ideal untuk menguapnya bahan-bahan kimia berbahaya dan pembentukan mikroplastik karena tidak ada kontrol suhu dan tidak ada sistem pembakaran tertutup." Ungkap Sofi Azilan aini,lebih lanjut Alumni Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Nahdatul Ulama Surabaya ini menjelaskan bahwa, sampah yang tidak terangkut atau dibuang sembarangan di tempat terbuka akan terpapar panas matahari dan angin sehingga mengalami fragmentasi, menambah beban polusi mikroplastik di udara.
Untuk mengetahui seberapa besar paparan tersebut, Wonjin Institute
for Occupational Environmental Health (WIOEH ), Lembaga Kajian Ekologi dan
Konservasi Lahan Basah (Ecoton) dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
melakukan biomonitoring pada 32 perempuan pemilah sampah di Gresik, Jawa Timur,
terdiri dari 27 pekerja pemilah sampah dan 5 perempuan nonpekerja sebagai
kontrol. Analisis
dilakukan terhadap 65 jenis bahan kimia dalam darah dan urin. Penelitian kandungan senyawa plastik dilakukan
di Laboratorium Green Hospital Korea Selatan milik Wonjin Institute for
Occupational Environmental Health.
Hasilnya menunjukkan bahwa 23 bahan kimia berbahaya terdeteksi
pada seluruh peserta, dengan kadar jauh lebih tinggi pada kelompok
pekerja. Temuan
ini menegaskan bahwa aktivitas pemilahan sampah plastik memberikan paparan yang
intens dan berbahaya.
“Temuan kami menunjukkan
bahwa pekerja pemilah sampah di Indonesia terpapar bahan kimia plastik
berbahaya pada tingkat yang jauh lebih tinggi dibanding populasi umum. Kondisi
ini tidak boleh diabaikan. Paparan kronis terhadap senyawa seperti BPA dan
ftalat berpotensi mengganggu hormon, metabolisme, dan kesehatan reproduksi.
Kami berharap penelitian ini menjadi dasar kuat bagi pemerintah dan industri
untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah dan melindungi kesehatan para
pekerja.” Dr.
Won Kim WIOEH
|
Senyawa |
Kadar pada Pekerja |
Risiko
& Dampak Kesehatan |
|
Ftalat (DEHP) |
2× lebih tinggi dari kontrol |
• Mengganggu
hormon reproduksi • Menurunkan
kesuburan •
Meningkatkan risiko gangguan perkembangan janin |
|
Bisphenol A (BPA) |
2,3× lebih
tinggi dari kontrol 10× lebih
tinggi dari perempuan Korea 7× lebih
tinggi dari perempuan AS |
• Pengganggu
hormon estrogen •
Meningkatkan risiko kanker payudara • Menyebabkan
gangguan metabolisme • Berkaitan dengan
penyakit tiroid |
|
PAH (1-OH-pyrene) |
2,8× lebih tinggi dari kontrol |
•
Meningkatkan risiko kanker paru-paru • Menyebabkan
gangguan pernapasan kronis • Melemahkan
sistem imun |
|
Flame retardants (DPHP, DBuP) |
2–3× lebih tinggi dari kontrol |
• Mengganggu hormon
tiroid • Menyebabkan
kerusakan hati • Berisiko
menyebabkan gangguan perkembangan saraf pada anak |
Seluruh peserta juga menunjukkan kadar timbal (Pb) yang lebih tinggi dibanding populasi umum di negara maju. Timbal merupakan neurotoksin yang dapat menyebabkan penurunan kecerdasan, tekanan darah tinggi, gangguan hormon, serta risiko cacat perkembangan pada janin.
Kondisi ini menunjukkan
bahwa semua pemilah sampah menghadapi risiko kesehatan yang berat akibat
paparan berulang dari plastik, debu mikroplastik, dan asap pembakaran.
Dampaknya dapat bersifat jangka panjang dan memengaruhi kesehatan generasi
berikutnya.
“Paparan bahan kimia
plastik pada kadar setinggi ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi kelompok
pekerja perempuan. Banyak dari senyawa yang kami temukan berkaitan dengan
gangguan hormon, risiko penyakit metabolik, hingga masalah kesehatan
reproduksi. Indonesia perlu mengadopsi standar perlindungan pekerja yang lebih
baik, termasuk pemantauan kesehatan berkala, pengurangan paparan di tempat
kerja, dan regulasi yang lebih kuat terhadap bahan kimia berbahaya.” Dr. Lestari
Sudaryanti, dr., M.Kes Fakultas Kedokteran UNAIR.
“Penelitian ini
memperlihatkan dampak dari sistem pengelolaan sampah Indonesia yang masih
buruk. Ketika 60% sampah plastik tidak terkelola dan banyak berakhir di sungai
atau lingkungan terbuka, pekerja di lapangan menjadi pihak pertama yang
terpapar. Temuan tingginya senyawa berbahaya dalam urin pekerja harus menjadi
alarm keras bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sampah, mengurangi
plastik sekali pakai, dan memastikan perlindungan bagi pekerja sektor
informal.” Dr. Daru Setyorini, M.Si
ECOTON Foundation



Tidak ada komentar:
Posting Komentar