Sabtu, 16 Agustus 2025

Negosiasi Perjanjian Plastik Global Gagal Capai Kesepakatan Ambisius

Aktivis Ecoton melakukan aksi dalam rangkaian INC 5.2. Dengan membawa
replika 2 bayi terkontaminasi mikroplastik didepan Balai Kota Malang 
(Rabu 14/8) mendorong delegasi Indonesia mendorong Kebijakan Global 
yang ambisius 

Setelah sebelumnya tertunda satu hari, negosiasi lanjutan (INC-5.2) untuk Perjanjian Plastik Global di Jenewa berakhir pada 15 Agustus 2025 dan gagal mencapai kesepakatan. Sesi final berlangsung di bawah ketidakpastian, tanpa kejelasan langkah, jadwal, maupun agenda pertemuan berikutnya. Pleno baru diumumkan 40 menit sebelum dimulai pada pukul 5:30 pagi, dan hanya beberapa jam setelah draf terakhir dibagikan serta ditutup tanpa memberi kesempatan kepada seluruh kelompok masyarakat sipil untuk menyampaikan intervensi mereka.

“Penutupan sidang hari ini secara tiba-tiba — tanpa kejelasan langkah dan proses selanjutnya, bahkan tanpa memberi kesempatan kepada semua kelompok masyarakat sipil untuk menyampaikan intervensinya — merupakan sinyal yang mengkhawatirkan. Memotong suara masyarakat sipil, ilmuwan, dan komunitas terdampak tidak hanya merusak transparansi, tetapi juga melemahkan legitimasi proses ini,” kata Deputy Director Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara. “Keputusan Ketua untuk mengetuk palu dan meninggalkan ruangan membuat para delegasi dan pengamat berada dalam ketidakpastian pada saat yang justru membutuhkan kejelasan dan kepemimpinan. Mengakhiri polusi plastik membutuhkan proses yang inklusif, transparan, dan akuntabel. Kami mendesak INC untuk segera mengkomunikasikan jadwal, agenda, dan proses untuk pertemuan berikutnya — serta memastikan semua pemangku kepentingan, terutama yang paling terdampak, dapat didengar dan dihormati,” tambahnya.

Sejak awal pekan, sejumlah negara yang tergabung dalam High Ambition Coalition, seperti Kolombia, Panama, Fiji, Kenya, Inggris, dan Uni Eropa telah menolak draf Chair’s Text yang dinilai lemah dan tidak memenuhi tujuan perjanjian untuk mengakhiri polusi plastik. Teks tersebut hanya menitikberatkan pada pengelolaan sampah, mengabaikan pengurangan produksi plastik dan pengendalian bahan kimia berbahaya yang menjadi tuntutan utama masyarakat sipil dan komunitas terdampak.


Penolakan ini berakar pada kesadaran bahwa krisis plastik tidak terpisah dari tantangan global lainnya. Tiga krisis planet yang kita hadapi; perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi, saling berkaitan dan semuanya berdampak pada kesehatan manusia serta lingkungan. Perjanjian plastik sejatinya merupakan kelanjutan dari mandat yang lahir dari Perjanjian Paris (Paris Agreement), namun dengan fokus khusus untuk menghentikan dampak buruk plastik di seluruh siklus hidupnya. “Yang kami saksikan di Jenewa adalah proses negosiasi yang membusuk dari dalam. Perundungan dari negara-negara penghasil minyak dan plastik terhadap INC Chair sangat terlihat jelas sejak INC 1. Hal ini juga terlihat dalam dinamika di Contact Groups sampai di sidang Pleno,” papar Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati. “Masalah plastik sebetulnya mudah dipahami oleh semua orang tetapi pembuat masalah tetap tidak mau berubah. Plastik adalah garis pertahanan profit terakhir dari industri fosil. Seharusnya mereka tidak ikut sejak awal seperti Perjanjian Tembakau agar proses negosiasi dapat berjalan,” katanya. Menurut laporan Center for International Environmental Law (CIEL), proses negosiasi kali ini juga diwarnai meningkatnya jumlah pelobi industri fosil dan kimia, dari 143 pada INC-3 menjadi 234 di INC-5.2, yang mengindikasikan tekanan kuat dari sektor industri untuk melemahkan ambisi perjanjian. Kondisi ini mengurangi ruang partisipasi publik dan memperparah bias keputusan yang berpihak pada kepentingan bisnis. “Sepuluh hari negosiasi di INC 5.2 berakhir dengan kekecewaan mendalam. Proses panjang yang penuh kompromi ini gagal menghasilkan kesepakatan atau arahan yang jelas untuk mengakhiri pencemaran plastik. Delegasi menghabiskan waktu berharga dunia untuk debat yang berlarut-larut, sementara isu-isu mendasar seperti pembatasan produksi plastik dan penghapusan bahan kimia berbahaya nyaris tidak disentuh. Hasil ini menunjukkan lemahnya kemauan politik dan semakin menjauhkan kita dari solusi yang dibutuhkan,” jelas  Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Nindhita Proboretno.

AZWI menilai proses negosiasi perjanjian plastik tidak adil. Pelobi industri fosil dan petrokimia membanjiri ruangan, sebagian jadi anggota delegasi, sementara masyarakat sipil kerap dilarang masuk. Permintaan intervensi negara-negara ambisius, terutama dari Selatan, sering diabaikan dan tidak digubris. Pertemuan INC 5.2 ini juga diwarnai perubahan jadwal yang drastis. Sidang pleno singkat akhirnya dimulai pukul setengah 2 pagi. Sidang pleno final baru diumumkan 40 menit sebelum dimulai pada pukul 5:30 pagi, hanya beberapa jam setelah draf terakhir dibagikan. “INC 5.2 berakhir dengan kegagalan mencapai perjanjian plastik global, meskipun sudah banyak beberapa negara yang mendukung perjanjian yang ambisius, mendorong pengurangan produksi plastik tapi proses negosiasi gagal membawa kita untuk bebas dari polusi plastik. Kegagalan ini semakin membuat lingkungan dan kesehatan manusia semakin terancam dan hanya membiarkan industri bahan bakar fosil terus mendapatkan keuntungan untuk memperparah krisis iklim,” tegas Zero Waste Campaigner Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar.

Kegagalan kesepakatan ini bukan sekadar kehilangan momentum, tetapi juga memperburuk kerusakan yang sudah terjadi pada lingkungan dan kesehatan manusia. INC harus segera memulihkan kepercayaan publik dengan memastikan jadwal, agenda, dan mekanisme perundingan berikutnya diumumkan secara terbuka, dapat diakses semua pihak, dan memberi ruang setara bagi suara komunitas yang paling terdampak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer