(Kuala
Lumpur, 30/6/2025) “Sebagai Anak Muda, Saya merasa “tidak terlihat”, suara saya
tidak berarti dan diabaikan pemerintah” ungkap Aeshnina Azzahra Aqilani dalam Workshop Regional AICHR tentang Perspektif Gender
dalam Bisnis dan Hak Asasi Manusia di ASEAN yang diadakan di Kuala Lumpur,
Malaysia 30 Juni-1 Juli 2025, lebih lanjur Koordinator
Komunitas River Warrior Indonesia menjelaskan bahwa Sebagai anak muda yang
menjadi korban pencemaran lingkungan akibat perdagangan sampah plastik global,
Nina panggilan akrab Aeshnina mengaku untuk menghentikan perdagangan sampah
plastik global dirinya aktif menulis surat kepada para pemimpin negara maju
agar berhenti mengirimkan sampah ke Indonesia dan mendapatkan respon. “Bahkan Uni Eropa Membalas surat saya dan
berjanji akan menghentikan ekspor sampah plastik ke Indonesia pada Nopember 2026, namun berkali-kali saya mengirim surat ke Pemerintah Indonesia tidak
mendapatkan respon” ungkap Nina.Senin (30/6/2025) Nina Memberikan rekomendasi kepada AICHR
di Courtyard by Marriot, Kuala Lumpur, Malaysia
Untuk itu Nina merekomendasikan kepada AICHR Intergovernmental Commission on Human Rights atau Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia agar memasukkan 3 prinsip dalam sistem pengaduan yang ramah anak yaitu: pengakuan, perlindungan, dan tindakan nyata.
Pertama,
sistem harus mengakui anak sebagai pemegang hak, bukan sekadar calon
warga negara. Anak-anak perlu hidup di lingkungan yang aman sekarang
juga, bukan suatu hari nanti. Setiap laporan harus ditanggapi dengan
serius, baik datang dari orang dewasa maupun gadis 13 tahun.
Kedua,
sistem harus menyediakan berbagai cara aman untuk melapor—secara
online, melalui sekolah, lewat orang dewasa tepercaya, atau di pusat komunitas.
Anak-anak harus bisa bicara dengan kata-kata mereka sendiri, dalam bahasa
mereka, tanpa takut dibalas dendam.
Ketiga,
harus ada perjanjian resmi antara pemerintah, industri, dan
komunitas—yang jelas menyatakan hak anak, tanggung jawab perusahaan, dan
kewajiban negara.Kita tidak bisa hidup dalam dunia di mana "tidak
viral, tidak ada keadilan" menjadi aturan. Keadilan tidak boleh
bergantung pada apakah penderitaan kita viral di media sosial. Keadilan harus
dijamin oleh hukum.
“saya ingin sistem ini mencakup pendidikan dan pendampingan untuk anak-anak—agar
kami paham hak kami, tahu cara menggunakan alat pelaporan, dan punya pendamping
orang dewasa yang mendampingi. Melaporkan kerusakan lingkungan tidak boleh
terasa seperti berteriak didalam botol, sebalikanya melaporkan kasus pencemaran
Harus terasa seperti membuka pintu menuju perubahan”
Anak Korban Perubahan Iklim
Kawasan Asia tenggara adalah rumah bagi seperempat anak dunia,
tetapi juga yang paling rawan bencana. Menurut Indeks
Risiko Iklim Anak UNICEF, setiap negara di Asia Timur
dan Pasifik berada dalam risiko "tinggi" atau "sangat
tinggi".
1.
140
juta anak sangat terpapar
kelangkaan air, Di Indonesia, 84% air minum kita berasal dari air permukaan,
termasuk sungai. Namun, 90% lebih sungai sudah tercemar berat oleh limbah
industri, limbah domestic, perkebunan, mikroplastik, dan bahan kimia dari
aktivitas pertambangan
2.
Dan 460 juta
anak menghirup udara beracun dan tercemar.
Di Indonesia, 57% sampah dibakar, dan 40% sampah dunia dibakar. Di sebuah desa
pembuat tahu, plastik telah digunakan sebagai bahan bakar selama 20 tahun.
Kadar dioksin yang ditemukan dalam telur ayam di sana 80 kali
lebih tinggi dari batas aman WHO. Anak-anak di daerah itu menderita
infeksi saluran pernapasan—namun pemerintah masih membiarkannya terus terjadi.
Perubahan iklim dan pencemaran juga merusak kesehatan mental
anak, “ 93,2% dari 1183 responden gen z menyatakan Cemas dengan kerusakan
lingkungan akibat krisis plastik/krisis iklim” ungkap Nina. Saya melihat begitu
banyak anak muda yang berjuang melawan kecemasan iklim, stres, dan
frustrasi, terutama anak perempuan yang sudah dibebani oleh tekanan
sosial. Menurut sebuah studi di Asia Tenggara, 64% anak mengatakan
bahwa bencana iklim meningkatkan risiko pelecehan fisik atau emosional terhadap
mereka
Unicef report Violence Against Children The
Forgotten Impact of Climate Change (Why child protection must be central to
climate resilienceand adaptation in East Asia and Pacific), April 2025)
menyebutkan :
Anak perempuan menjadi pihak yang dikorbankan.
Secara global, sekitar 9
juta anak perempuan setiap tahun berisiko menghadapi bencana iklim sekaligus
pernikahan dini—dan pernikahan itu justru meningkatkan risiko kekerasan
berbasis gender serta ketimpangan seumur hidup
Kasus demam berdarah, terutama di kalangan anak-anak,
akibat kenaikan suhu.
Di sekolah, anak-anak
setiap hari mengonsumsi camilan yang dibungkus plastik saset. Antara 2020 dan
2023, diabetes pada anak di Indonesia meningkat 70%. Mengapa?
Karena makanan tidak sehat, kemasan beracun, dan kurangnya air bersih. Dan di
seluruh kawasan Asia-Pasifik, bahayanya bahkan lebih besar.
Orientasi Profit
·
Polusi
udara dan pencemaran perairan dipicu oleh praktik bisnis yang hanya
memprioritaskan profit mengabaikan people dan planet, Pelanggaran yang
berdampak kerusakan lingkungan harus ditindak tegas, dibutuhkan Penegakan nyata hukum lingkungan. Bukan sekadar regulasi di atas kertas,
tapi pemantauan, hukuman, dan tindak lanjut yang nyata. Perusahaan
pencemar harus didenda atau ditutup jika melanggar aturan pengelolaan limbah.
“Sektor bisnis harus
bertanggungjawab atas dampak kegiatannya, sector bisnis harus patuh aturan dan
Pemerintah Harus memberikan Ruang aman bagi masyarakat untuk melapor tentang
pelanggaran lingkungan, serta sistem yang jelas untuk mendukung
korban—khususnya perempuan dan anak-anak.” ungkap Nina, lebih
lanjut Nina menjelaskan bahwa polusi menyebabkan gangguan kesehatan.
air bersih, udara bersih, dan rumah yang aman bukanlah kemewahan—melainkan hak asasi manusia, Industri wajib mematuhi standar pengolahan limbah, terutama di sektor berbahaya seperti plastik dan pertambangan. Jangan hanya memikirkan ekonomi. Pikirkan anak-anak yang menghirup udara itu, minum air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar