Jakarta, Manila, Bangkok, Kuala Lumpur, 5 Juni 2025 – Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, International Pollutants Elimination Network (IPEN) bersama organisasi dari Indonesia, Filipina, Thailand, dan Malaysia menyerukan aksi mendesak dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis mikroplastik yang semakin parah. Mikroplastik—partikel plastik yang berukuran lebih kecil dari 5 milimeter—telah menjadi polutan yang tersebar luas dan mencemari seluruh bagian lingkungan. Partikel ini ditemukan di udara, air, tanah, sistem pangan, bahkan di tubuh manusia, dan mengancam kesehatan manusia, ekosistem, dan keanekaragaman hayati. Krisis ini sangat serius di Asia Tenggara dan Asia Timur karena tingginya konsumsi plastik, infrastruktur pengelolaan sampah yang belum memadai, serta masih adanya impor limbah plastik (IPEN 2021). Tantangan struktural ini diperburuk oleh ketergantungan wilayah ini pada sumber pangan perairan dan urbanisasi yang cepat, menjadikan penduduknya termasuk yang paling rentan terhadap pencemaran mikroplastik di dunia.
Studi terbaru menunjukkan besarnya skala dan urgensi masalah ini. Analisis global oleh Zhao dan You (2024) mengungkap bahwa asupan mikroplastik melalui makanan meningkat drastis antara tahun 1990 hingga 2018, dengan negara-negara Asia Tenggara—terutama Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam—mengalami peningkatan hingga 59 kali lipat. Indonesia kini menempati peringkat tertinggi dalam konsumsi mikroplastik secara global, dengan rata-rata konsumsi mencapai 15 gram per orang setiap bulan, terutama melalui makanan laut (Cornell University, 2024). Mikroplastik ditemukan di seluruh sampel makanan laut yang diuji di Indonesia dan Vietnam (Sarijan, S., dkk., 2021), dan juga pada air minum di Thailand dengan konsentrasi rata-rata 5,5 partikel per liter (Kankanige, D., & Babel, S., 2020). Di Filipina, mikroplastik di udara ditemukan dalam debu jalanan dan lingkungan dalam ruangan, menunjukkan limpasan perkotaan dan resuspensi sebagai jalur paparan utama (Romarate II, dkk., 2023).
Pencemaran tanah juga merata. Studi IPEN menemukan mikroplastik di hampir seluruh lokasi pembuangan sampah yang diuji di Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, dan Vietnam, dengan Filipina melaporkan konsentrasi median tertinggi—24.000 partikel per kilogram tanah. Partikel ini, sebagian besar berupa polietilena (PE), polipropilena (PP), dan polyethylene terephthalate (PET), berasal dari produk konsumen sehari-hari seperti kemasan dan botol. Yang mengkhawatirkan, 40–60% bahan aditif plastik di tanah ini, termasuk ftalat dan zat beracun lainnya, secara langsung terkait dengan fragmen mikroplastik. Ini menegaskan bahwa mikroplastik tidak hanya menjadi polutan fisik, tetapi juga pembawa bahan kimia berbahaya (IPEN, 2023).
Risiko terhadap kesehatan manusia sama mengkhawatirkannya. Meskipun penelitian masih berkembang, mikroplastik telah ditemukan dalam feses manusia (Zhang dkk., 2020), darah, dan jaringan plasenta, menimbulkan pertanyaan mendesak tentang dampak jangka panjang terhadap kesehatan. Studi ECOTON pada 2021 menemukan mikroplastik dalam seluruh sampel tinja manusia yang diuji di Indonesia, dengan rata-rata 375,92 partikel—utama berupa polipropilena dan ethylene vinyl alcohol (ECOTON, 2021). Studi tambahan menemukan mikroplastik dalam minuman manis dan kantong teh yang dikonsumsi luas di Indonesia, mengekspos individu terhadap ratusan partikel per sajian (ECOTON, 2025a; 2025b). Paparan ini berpotensi terkait dengan peningkatan risiko penyakit kronis seperti diabetes. Mikroplastik di udara sangat berisiko di megakota tropis. Studi di Vietnam menemukan deposisi mikroplastik di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada kota beriklim sedang di belahan bumi utara (Truong dkk., 2021). Karena ukurannya, beberapa mikroplastik dapat menembus jauh ke dalam paru-paru. Mikroplastik juga dapat membawa zat berbahaya, banyak di antaranya merupakan pengganggu hormon endokrin seperti bisfenol, bahan tahan api, PFAS, dan ftalat. Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 4.200 bahan kimia terkait plastik diketahui beracun, namun hanya 6% yang saat ini diatur di tingkat internasional (IPEN, 2023; UNEP, 2021).
Dampak ekologis juga tidak kalah parah. Mikroplastik di lingkungan daratan—terutama tanah pertanian—diketahui 4 hingga 23 kali lebih terkonsentrasi daripada di ekosistem laut, sehingga menimbulkan risiko serius terhadap ketahanan pangan dan keanekaragaman hayati (de Souza Machado dkk., 2018). Saat plastik terdegradasi menjadi fragmen lebih kecil, ia menjadi lebih mudah dikonsumsi oleh berbagai organisme, meningkatkan potensi bioakumulasi dan kontaminasi rantai makanan (Yates, 2025). Maka dari itu, penanganan mikroplastik sangat penting untuk melindungi sistem pangan, kesehatan publik, dan ketahanan ekologi.
Dalam beberapa tahun terakhir, ASEAN telah mengeluarkan berbagai deklarasi yang menunjukkan komitmen regional terhadap keberlanjutan lingkungan, polusi plastik, dan hak asasi manusia. Deklarasi ini dapat menjadi kerangka kerja berharga untuk aksi bersama menghadapi krisis mikroplastik, namun membutuhkan implementasi yang lebih kuat, akuntabilitas, dan penyelarasan dengan ilmu pengetahuan terbaru.
Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (2012) menjamin hak setiap orang untuk “standar hidup yang layak” dan “lingkungan yang aman, bersih, dan berkelanjutan.” Hak-hak ini secara langsung terancam oleh skala pencemaran mikroplastik di Asia Tenggara dan Asia Timur, terutama karena zat aditif plastik yang beracun dan fragmen mikro yang terdegradasi mencemari air, makanan, dan udara (ASEAN, 2012).
Pada tahun 2023, ASEAN mengadopsi Deklarasi Sirkularitas Plastik, yang mengakui pentingnya penanganan polusi plastik melalui pendekatan ekonomi sirkular, pengelolaan sampah yang lebih baik, dan kerja sama regional (ASEAN, 2023). Meski merupakan kemajuan, deklarasi ini masih berfokus pada solusi teknis dan ekonomi, dan belum menyoroti dampak kesehatan dari mikroplastik atau regulasi bahan kimia berbahaya dalam produksi plastik.
Sebelumnya, negara anggota ASEAN mendukung Rencana Aksi Regional untuk Mengatasi Sampah Laut (2021–2025), yang menetapkan tujuan strategis untuk mengurangi kebocoran plastik dari darat serta mempromosikan penelitian, edukasi, dan harmonisasi kebijakan (ASEAN, 2021). Namun dengan akan berakhirnya rencana ini pada akhir 2025, ASEAN perlu segera memperbarui dan memperluas ruang lingkupnya agar mencakup paparan mikroplastik di udara, daratan, dan sistem pangan.
Satu inisiatif yang menjanjikan namun masih dalam tahap rancangan adalah Deklarasi ASEAN tentang Hak Lingkungan, yang mengusulkan bahwa setiap individu memiliki hak atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, termasuk hak atas informasi, partisipasi, dan pemulihan (UNESCAP, Draft 2023). Namun, rancangan ini masih ditinjau tanpa informasi publik tentang perkembangannya. Tidak jelas apakah negara anggota telah berkomitmen untuk mengadopsinya atau mengintegrasikan prinsip-prinsipnya dalam kerangka hukum yang mengikat. Kurangnya transparansi ini memunculkan pertanyaan tentang kesiapan kawasan untuk benar-benar mengakui hak lingkungan sebagai bagian esensial dari kesehatan dan keadilan di tengah krisis polusi yang memburuk.
Seruan Kami untuk Bertindak
Seperti yang ditekankan dalam Deklarasi Sirkularitas Plastik ASEAN (2023), “mengatasi polusi plastik, termasuk di lingkungan laut, memerlukan pendekatan daur hidup penuh, termasuk menekan timbulan limbah plastik dari sumbernya baik di darat maupun di perairan serta mencegah kebocorannya ke lingkungan, termasuk oleh industri.” Hal ini menegaskan satu kebenaran utama: upaya parsial tidak lagi cukup.
Untuk mengatasi krisis plastik dan mikroplastik secara efektif di Asia Tenggara dan Asia Timur, kita harus mengadopsi strategi sistemik berbasis ilmu pengetahuan yang mencakup seluruh siklus hidup plastik—dari ekstraksi dan produksi hingga penggunaan, pembuangan, dan pemulihan. Tanpa menangani akar penyebab polusi plastik dan bahan kimia beracun dalam plastik, kesehatan masyarakat, ekosistem, dan ekonomi kita akan terus memburuk.
Pemerintah harus mengakui polusi mikroplastik—termasuk pelepasan, emisi, dan kebocorannya di lingkungan—serta perannya sebagai pembawa zat kimia berbahaya sebagai darurat kesehatan publik dan bencana ekologi. Kami menyerukan kepada pemerintah Asia Tenggara dan Asia Timur untuk bertindak tegas dalam mengurangi produksi plastik dan paparan bahan kimia beracun dalam plastik.
Kami menyerukan tindakan prioritas sebagai berikut:
-
Menyuarakan sikap regional yang tegas dalam negosiasi global—terutama pada sesi kedua pertemuan kelima Komite Negosiasi Antar Pemerintah untuk menyusun instrumen hukum internasional yang mengikat terkait polusi plastik (INC-5.2), agar kebijakan berbasis sains, adil, dan inklusif mencerminkan realitas Asia Tenggara dan Timur.
-
Mengurangi produksi plastik serta menghentikan dan akhirnya menghapus konsumsi plastik yang tidak perlu di seluruh sektor industri dan rantai pasok.
-
Menghapus bahan kimia beracun dalam plastik dan menggantinya dengan alternatif yang aman dan tidak berbahaya.
-
Meningkatkan desain produk untuk meminimalkan pelepasan ke lingkungan dan mempromosikan pola konsumsi berkelanjutan.
-
Melarang mikroplastik dan bahan kimia beracun yang ditambahkan secara sengaja dalam produk perawatan diri, rumah tangga, dan produk konsumen lainnya.
-
Mendukung penelitian lintas disiplin tentang dampak kesehatan dan lingkungan dari mikroplastik serta mengembangkan strategi mitigasi berbasis sains.
-
Mendorong kerja sama regional melalui berbagi data, teknologi, dan praktik terbaik untuk mengurangi polusi mikroplastik lintas negara.
-
Berinvestasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang ramah lingkungan serta sistem pemantauan mikroplastik di udara, air, pangan, dan tanah.
-
Memperkuat skema Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen mengungkap dan mengelola limbah plastik serta kandungan bahan kimia sepanjang siklus hidup produknya.
-
Menegakkan regulasi yang membatasi plastik sekali pakai, dan mendukung sistem isi ulang dan guna ulang yang dapat ditingkatkan secara berkelanjutan.
-
Memantau mikroplastik di udara, air, tanah, dan pangan—terutama di wilayah yang dekat dengan komunitas rentan. Harmonisasi metode riset dan akui peran penting sains warga dan pemantauan berbasis komunitas.
Penutup
Polusi mikroplastik bukan sekadar isu lingkungan—ini adalah persoalan kesehatan manusia, sistem pangan, dan hak asasi manusia. Luas dan kompleksnya krisis ini menuntut perubahan sistemik. Sebagai pemangku kepentingan regional yang berkomitmen pada masa depan bebas racun, kami berjanji untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, mendorong kebijakan yang efektif, dan membangun kolaborasi yang dibutuhkan untuk mengakhiri polusi mikroplastik dan akar penyebabnya.
Dalam webinar “Toxic Footprints – Mikroplastik dan Krisis yang Tersembunyi” pada 9 Mei 2025 lalu, kelompok lingkungan dan kepentingan publik membahas isu-isu utama terkait mikroplastik serta menyampaikan rekomendasi, termasuk mendesak pemerintah kawasan untuk bertindak segera sebelum krisis ini menjadi masalah yang tidak dapat dibalikkan.
Penyelenggara webinar:
-
International Pollutants Elimination Network – Asia Tenggara dan Timur
-
Nexus3 Foundation
-
Environmental Justice Foundation
-
Sahabat Alam Malaysia
-
Ecological Observation and Wetlands Conservation
-
EcoWaste Coalition
Kontak:
-
Yuyun Ismawati – yuyun@nexus3foundation.org
-
Mageswari Sarangalingam – magesling@gmail.com
-
Salisa Traipipitsiriwat – salisa.t@ejfoundation.org
-
Rafika Aprilianti – rafikaprilianti99@gmail.com
-
Aileen Lucero – alucero@ecowastecoalition.org
-
Chinkie Peliño-Golle – cpelino@ecowastecoalition.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar